Pihak berwenang di negara bagian Rakhine barat, Myanmar, menerapkan program pembatasan anak bagi keluarga muslim Rohingya, dengan hanya memiliki dua anak. Upaya ini untuk meredakan ketegangan dengan pemeluk Buddha, setelah serentetan kekerasan sektarian mematikan, kata seorang pejabat Sabtu (25/05/2013).
Pejabat lokal mengatakan, pembatasan itu, termasuk larangan melakukan poligami, akan diterapkan pada dua kota di Rakhine, yang berbatasan dengan Bangladesh dan memiliki populasi Muslim tertinggi di negara bagian itu. Kota-kota itu adalah Buthidaung dan Maundaw, yang 95 persen penduduknya Muslim.
Pembatasan kepemilikan anak diterapkan seminggu lalu, setelah satu komisi yang ditunjuk pemerintah menyelidiki peristiwa kekerasan, menyampaikan usulan untuk meredakan ketegangan, termasuk program perencanaan keluarga untuk membendung pertumbuhan penduduk di kalangan minoritas Muslim, kata juru bicara negara bagian Rakhine, Win Myaing, dilansir The Indian Express. Komisi itu juga merekomendasikan penambahan dua kali lipat jumlah pasukan keamanan di wilayah bergejolak.
"Pertumbuhan populasi Muslim Rohingya 10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk Buddha di Rakhine, kata Win Myaing. "Kelebihan penduduk merupakan salah satu penyebab ketegangan.''
Kekerasan sektarian di Myanmar pertama berkobar hampir setahun lalu di negara bagian Rakhine, antara wilayah Buddha Rakhine dan Muslim Rohingya. Massa umat Buddha bersenjatakan parang menghancurkan ribuan rumah Muslim, menyebabkan ratusan orang tewas dan memaksa 125.000 orang mengungsi, sebagian besar Muslim.
Sejak peristiwa kekerasan terjadi, kerusuhan itu telah berubah menjadi 'kampanye' menentang komunitas Muslim di wilayah lain di negara itu.
Aksi kekerasan itu telah menimbulkan tantangan serius bagi pemerintah reformis Presiden Thein Sein dalam upaya melakukan liberalisasi politik dan ekonomi, setelah hampir setengah abad negara itu berada dalam kekuasaan militer yang keras. Hal ini juga mencoreng citra pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi, yang telah dikritik gagal menyuarakan sikap kepada pemerintah untuk memperhatikan komunitas Muslim di negara itu.
Win Myaing mengatakan, pemerintah belum menentukan bagaimana pembatasan itu akan ditegakkan, tetapi kebijakan dua anak akan wajib di Buthidaung dan Maundaw. Kebijakan ini tidak berlaku bagi kota lain di negara bagian Rakhine, yang memiliki populasi Muslim lebih kecil.
"Salah satu faktor yang telah memicu ketegangan antara masyarakat Rakhine dan penduduk Rohingya berhubungan dengan rasa tidak aman di antara banyak penduduk Rakhine, berkaitan dengan pertumbuhan penduduk yang cepat pada penduduk Rohingya, yang mereka pandang sebagai ancaman serius,'' kata Komisi yang ditunjuk pemerintah dalam laporan yang dikeluarkan bulan lalu.
Mayoritas penduduk Myanmar beragama Buddha, tidak mengakui Rohingya sebagai salah satu dari 135 etnis yang diakui negara. Mereka dianggap sebagai imigran ilegal dari Bangladesh, sehingga kewarganegaraannya tidak diakui. Bangladesh mengatakan, Rohingya telah tinggal di Myanmar selama berabad-abad dan harus diakui ada sebagai warga negara.
Kebijakan pembatasan anak yang tak lazim ini, membuat Myanmar menjadi satu-satunya negara yang melakukan pembatasan jumlah anak untuk satu kelompok agama tertentu. Kebijakan ini diperkirakan akan memicu kritik tajam dan semakin membuktikan bahwa Myanmar mendiskriminasikan penduduk minoritas Muslim.
China memiliki kebijakan satu anak, namun tidak dikaitkan dengan etnis atau agama tertentu. India pernah mempraktikkan porgram sterilisasi pria pada 1970-an. Namun, protes warga membuat pemerintah menghentikan proyek tersebut.
Penduduk Muslim mencapai 4 persen dari sekitar 60 juta penduduk Myanmar.*
(*/antara/hidayatullah)
Posting Komentar