Demonstrasi damai menentang penebangan pepohonan di taman Gezi, Istanbul, berubah menjadi pertempuran berdarah antara kubu demonstran dan aparat keamanan. Teriakan penentangan penebangan pohon berubah menjadi tuntutan mundur Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan.
Amberin Zaman, koresponden The Washington Post, The Los Angeles Times, The Daily Telegraph dan the Voice of America di Turki dalam tulisannya di AL Monitor mengatakan bahwa dia berada di tengah massa saat aparat keamanan berusaha membubarkan demonstran yang menggelar aksi damai.
Saat itu, berlangsung demonstran menolak penebangan puluhan pohon di Alun-alun Taksim, termasuk Taman Gezi untuk dibangun mall. Pemerintahan Erdogan juga mengatakan di tempat itu akan dibangun mesjid megah dan replika barak militer era Kekhalifahan Ottoman.
Bentrokan pecah, dan teriakan anti penebangan pohon berubah menjadi "Erdogan mundur! Pemerintah Mundur!" Sekelompok pemuda yang diwawancarai Zaman mengaku diberi kaus dan masker oleh bosnya di sebuah perusahaan periklanan.
"Awalnya kami bergabung dengan demonstrasi untuk melindungi pohon-pohon, tidak ada yang politis," kata pemuda bernama Selin Bayraktar seperti dituturkan Zaman. Namun, situasi berubah saat Erdogan mengatakan tetap akan menebang pohon kendati diprotes warga. "Kami tidak menentang partai politik tertentu, tapi kami menentang kediktatoran, Erdogan adalah diktator, tulis ini jika kamu berani," kata dia lagi.
Memimpin sejak 2003, Erdogan memang tidak bisa disebut diktator. Dia memangku kekuasaan berkat suara mayoritas pada pemilihan umum yang demokratis. Namun dalam beberapa tahun terakhir Erdogan memberangus aspirasi, menjadikan Turki salah satu negara pemenjara jurnalis terbesar di dunia.
Pemerintahan Erdogan gatal jika melihat penentangan, main penjara dan tangkap. Erdogan juga dinilai mempunyai "agenda tersembunyi" membangkitkan kembali kejayaan Islam di negara sekuler tersebut. Salah satunya adalah membatasi alkohol dan kehidupan malam yang jadi salah satu daya tarik turis di Istanbul dan Ankara. Hal ini membuat kelompok sekuler sejati gerah.
Inilah sebabnya demonstrasi kali ini jadi ajang tepat bagi partai oposisi Partai Rakyat Demokratik (CHP) menyuarakan pendapatnya. Sekitar 50-60 anggota mereka menyerukan massa untuk bersatu menuntut Erdogan mundur.
"Protes ini akan berlanjut hingga taman selamat. Tapi ini bukan hanya soal taman, ini tentang rezim yang represif. Rakyat sudah muak. Mereka harus turun," kata Ilhan Cihaner, anggota parlemen dari CHP. Tidak heran, banyak media mengibaratkan insiden kali ini sebagai "Sekuleris Vs Islamis."
Bukan Arab Spring
Beberapa orang mengatakan bahwa Turki akan menderita Arab Spring berikutnya. Arab Spring adalah sebutan untuk revolusi di Timur Tengah yang berhasil menggulingkan para diktator seperti Hosni Mubarak dan Moammar Khadafi.
Ini dibantah oleh pengamat politik di Turki Ceylan Ozbudak kepada Al-Arabiya. Dia mengatakan, Arab Spring diawali penentangan oleh rezim Baath yang diktator dan otoriter. Sementara Turki tidak dipimpin diktator atau junta, melainkan pemimpin yang dipilih secara demokratis.
"Turki dipimpin oleh pemerintahan demokratis yang terpilih tiga kali, menjalankan negara ini berdasarkan sekulerisme, seperti negara-negara Eropa. Jika memang rakyat tidak senang dengan pemerintah, mereka bisa menggelar referendum. Tapi tidak ada tanda ke arah situ," kata pengamat politik cantik ini.
Demonstrasi beberapa ribu orang di Turki, kata dia, jelas tidak mewakili pendapat sekitar 75 juta populasi negara tersebut. Menurut dia, pada pemerintahan Erdogan, Turki justru maju pesat dibanding ketika dipimpin CHP. Tercatat, saat ini Turki adalah negara dengan perkembangan paling cepat di Eropa.
Ozbudak menjabarkan, tahun 2002, GDP per kapita hanya US$3.500, tahun ini dibawah kepemimpinan Erdogan, GDP Turki mencapai US$10.000. Ekspor meningkat menjadi US$114 miliar dari hanya US$36 miliar tahun 2002, dan diprediksi akan menembus angka US$500 miliar pada 2023.
"Sebanyak 206 bendungan baru dibangun, setiap kota kini punya universitas, dan wisatawan bertambah. Pendemo hanya meributkan beberapa pohon, sementara pemerintahan Erdogan telah menciptakan 900.000 hektar hutan baru di Turki," ujarnya.
Hal serupa disampaikan Zaman. Dia mengatakan bahwa Turki tidak berada sejengkal pun di ambang revolusi.
"Erdogan bukan diktator. Dia adalah pemimpin yang terpilih secara demokratis yang mulai memimpin dengan tidak demokratis. Erdogan sendiri sadar, nasibnya akan ditentukan di kotak suara, bukan di jalanan," tegas Zaman.
(*/WashingtonPost/LATimes/DailyTelegraph/Voa/Viva)
Posting Komentar