{getFeatured} $label={recent} $type={featured1} $color={#1abc9c}

Yakuza Serang Indonesia


Sindikat terorganisasi, Yakuza, di Jepang mulai mencari peruntungan ke Indonesia. Ciri-cirinya, pencucian uang, perusahaan fiktif, dan main pasar modal.

Tidak banyak yang mengetahui bahwa Yakuza (gangster Jepang) kini sudah menginvasi Indonesia. Tujuannya hanya satu, yaitu mencari uang secepat mungkin dengan cara apa pun dan kembali membawanya ke Jepang.

Yakuza secara harfiah berarti 8-9-3, suatu kombinasi angka terburuk dalam permainan kartu hanafuda. Namun, Yakuza di sini berarti istilah tradisional untuk menyebut gangster Jepang.

Dilihat dari sejarahnya, Yakuza berasal dari zaman Tokugawa atau zaman Edo (1603-1868). Saat itu, ada 500.000 samurai yang menganggur dan tidak ada pekerjaan yang cukup untuk mendukung jumlah mereka.

Banyak dari samurai ini bergabung dengan kelas pedagang (tekiya). Namun, mereka yang tidak bergabung lalu menjadi samurai tak bertuan atau tunawisma (ronin) serta harus menemukan cara lain untuk mendukung kehidupannya.

Mereka banyak beralih ke metode sebagai penjudi (bakuto) hingga pencurian dan kriminal untuk mendukung kehidupan diri mereka sendiri. Pada hakikatnya, mereka berusaha kuat mencari penghasilan untuk melindungi dan memberi penghidupan bagi kesejahteraan keluarga mereka dan kota.

Lalu, bagaimana Yakuza bisa masuk ke Indonesia? Richard Susilo, penulis buku Yakuza Indonesia, menjelaskan, Yakuza menginvestasikan uangnya ke instrumen saham, pasar uang, hingga properti di Indonesia.

Atau bisa saja masuk ke deposito di perbankan Tanah Air karena bunga deposito di perbankan Jepang hanya memberikan imbal hasil paling tinggi 1 persen per tahun.

"Hasil perputaran uang tentu masuk ke bank di Indonesia, sementara saja. Tujuan akhir dijadikan yen dan kembali dibawa pulang ke Jepang," kata Richard saat peluncuran bukunya di Toko Buku Gramedia Pondok Indah Mall Jakarta, Minggu (14/7/2013).
Richard menambahkan, Yakuza tentu saja mendapatkan uang tersebut dari pemerasan, uang pembunuhan, uang judi, dan sebagainya. Misalnya, mereka membawa satu juta yen Jepang. Ini berarti mereka sudah membawa uang Rp 100 juta.

Mereka membawa uang ini secara tunai dan bukan melalui rekening di tabungan mereka masing-masing. Sebab, Yakuza dilarang memiliki rekening tabungan di Jepang.

Setelah dirupiahkan, uang hasil tukar tersebut dimasukkan ke perbankan Tanah Air sehingga mendapatkan bunga tinggi, sambil mencari tahu investasi mana yang paling menguntungkan.

"Setelah diinvestasikan, terjadi perdagangan, uang menjadi 'bersih', ada bukti uang yang diperoleh nantinya merupakan hasil transaksi perdagangan dan bisnis. Bila ditransfer atau dibawa masuk ke Jepang, tidak ada masalah karena uang sudah jadi 'bersih' di Indonesia," tambahnya.

Masalahnya, aktivitas Yakuza di Indonesia tersebut membutuhkan "pelindung" transaksi. Misalnya, mencari aparat ataupun otoritas jasa keuangan sehingga Yakuza bisa aman dan tenang menjalankan transaksi di negara mana pun.

"Siapa saja welcome, asalkan dia yakin akan sangat banyak menguntungkan kalau bermitra dengan orang itu," tambahnya.
Lalu, apa indikasi Yakuza menyerang perekonomian Indonesia? Richard menjelaskan, saat Yakuza menginvestasikan dananya ke beberapa instrumen keuangan, seperti pasar uang, pasar modal, dan properti, maka indikator mudahnya adalah pasar modal Jakarta akan mendadak mencuat tinggi.

Berarti di sini ada arus dana asing masuk (capital inflow). Namun, beberapa saat, pasti ada masa bahwa pasar saham di Jakarta jeblok. Ini berarti uang mendadak hilang dari peredaran. Tentu saja, Yakuza melakukan spekulasi yang tujuan utamanya ingin mendapatkan keuntungan secepat mungkin.

"Transaksi pasar modal benar-benar dipermainkan. Demikian pula perputaran uang di masyarakat dan di pasar uang yang sangat fluktuatif," tambahnya.

Semua hal tersebut tentu saja akan membingungkan banyak pelaku pasar (modal dan uang). Tetapi, Richard menambahkan bahwa pelaku pasar modal dan pasar uang tentunya bisa mencium aroma ada sesuatu yang aneh di pasar keuangan tersebut. 

"Fluktuasi naik turun ekonomi dan finansial Indonesia tersebut akan mengacaukan perekonomian Indonesia secara makro," jelasnya.

(*/tempo/kompas)


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama