Kisah ini bukan lelucon: para pria di Kenya menggelar aksi boikot seks selama 5 hari, mulai 11 November 2014 lalu. Seorang aktivis hak-hak kaum adam, mengajak para lelaki menahan diri, untuk tidak melakukan segala kelembutan kepada pasangannya selama mogok dilakukan.
Aksi yang dinamakan International Men’s Liberation Day bertujuan memprotes dugaan kekerasan yang dihadapi para pria dari perempuan maupun pemerintah.
Itu bukan kali pertamanya boikot dilakukan. Hanya saja pelakunya berbeda. Organisasi perempuan di Kenya pernah menggelar aksi mogok serupa pada 2009, sebagai cara untuk mendapatkan perhatian dari para elite politik pria.
Aktivis hak-hak pria Nderitu Njoka mencontoh trik itu dan menerapkannya untuk memprotes posisi pria di masyarakat Kenya.
Menurut Njoka, ketua organisasi Global Men Empowerment Network (GMEN), para pria di negara di Afrika timur itu makin ‘dilucuti’ perannya. ‘Didiskriminasikan’.
Melalui aksinya, para pemprotes berharap bisa meningkatkan kepedulian tentang jumlah kekerasan terhadap pria yang terus bertambah.
“Pada 2011, jajak pendapat yang dilakukan di 2 provinsi menemukan 460 ribu pria menjadi sasaran kekerasan domestik. Sejauh ini tahun 2014, 300 pria menjadi korban serangan yang dilakukan perempuan, 100 dari mereka menderita akibat alat kelaminnya diamputasi,” kata dia seperti dimuat media Jerman, Suddeutsche Zeitung, seperti yang dikutip dari Liputan6.com.
Meski demikian klaim Njoka belum bisa diverifikasi. Organisasi Gender Violence Recovery Center (GVRC) di Nairobi, yang berdedikasi membantu korban kekerasa seksual dan domestik justru hanya mendata sedikit kasus yang menempatkan pria sebagai korban.
Antara tahun 2001 hingga 2013, 3 persen korban yang mereka bantu adalah pria. Sebaliknya, 90 persen aksi kekerasan dilakukan oleh para lelaki!
Kekerasan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari perempuan di kenya. Sejumlah studi menunjukkan, dalam sebagian besar masyarakat, perempuan dalam posisi tak diuntungkan. Kemiskinan, misalnya, lebih berdampak bagi perempuan daripada pria.
Lebih sedikit perempuan yang bisa baca dan tulis, dan hanya seperempat dari populasi kaum hawa yang menikmati pendidikan tinggi — sementara sepertiga pria bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih lanjut.
Dan, meski perempuan melakukan mayoritas pekerjaan di ladang dan lahan pertanian, hanya 1 persen tanah yang dimiliki wanita.
Di bidang politik, perempuan juga tertinggal. Hanya 22 persen anggota parlemen adalah perempuan. Salah satu produk parlemen yang baru saja disahkan tahun lalu adalah soal kepemilikan bersama pasangan suami istri. Yang mengatur bahwa perempuan yang bercerai atau janda kehilangan kepemilikan atas tanah pertanian keluarga.
Sementara, poligami adalah sah dan merupakan praktik meluas di Kenya. Awal tahun ini, anggota parlemen pria membatalkan aturan dalam UU yang memberikan ‘hak veto’ pada istri pertama jika suami mereka ingin menikahi perempuan lain sebagai istri kedua.
Masalah sebenarnya di balik seruan untuk mogok seks bagi kaum pria diduga adalah kekhawatiran aktivis jika posisi lelaki dalam masyarakat Kenya yang patriarki terkikis.
“Para perempuan tiba-tiba mengira mereka bisa menjadi kepala keluarga,” kata Njoka dalam sebuah wawancara televisi. “Dan itu salah.”
Di antara tuntutan gerakan itu adalah agar perekrutan perempuan untuk dijadikan polisi diakhiri. Juga amandemen pasal 100 UUD — untuk menambahkan pria dalam daftar pihak yang termarjinalisasi untuk diwakili dalam parlemen.
Apa yang dilakukan Njoka dianggap ‘tak logis’. “Bagaimana bisa ia meminta amandemen konstitusi untuk membuat pria sebagai kelompok marjinal, sementara kaum lelaki sudah over terwakili,” kata anggota parlemen Kenya, Amina Abdallah seperti dimuat All Africa.
Posting Komentar